Surga untuk Suami Saya

Yuli Pujihardi – detikRamadan

Jakarta -Pagi itu, semua berjalan seperti biasa saja. Semua sibuk mengerjakan pekerjaan masing-masing apalagi hari itu banyak sekali kegiatan yang harus dipersiapkan oleh kami di Dompet Dhuafa.

Namun yang pasti hari itu, saya mendapatkan lagi pelajaran betapa sesungguhnya memberi pelayanan yang terbaik itu berlaku itu semua orang. Tak peduli apakah itu orang kaya, atau orang yang terlihat kaya atau terlihat biasa-biasa saja.

Pertama soal betapa prasangka itu, tidaklah benar. Menyangka ibu tua renta yang datang dengan anaknya itu tadinya adalah orang yang akan meminta bantuan, namun nyatanya ia malah muzakki yang dari dana zakatnya program rumah sehat terpadu kami insyaAllah dapat terwujud.

Kedua, jangan pernah melihat orang dari fisiknya saja. Yang disangka meminta malah membayar. Semoga Allah membuka hati ini terus-menerus untuk dapat menangkap kebaikan. Amin.

Bermula dari datangnya ibu dan anaknya, wajahnya biasa-biasa saja. Bahkan nampak sekali kerut-kerut di wajahnya membuat ia tampak semakin tua dan lelah saja. Ia datang untuk meminta penjelasan tentang program rumah sehat terpadu yang rencananya kami bangun di depan sekolah unggul bebas biaya di Parung, Bogor.

”Boleh, saya mendapatkan infomasi tentang Rumah Sehat Terpadu,” tanyanya perlahan.

”Boleh Ibu, informasi apa yang ingin Ibu dapatkan. Rumah Sakit itu sengaja kami beri nama Rumah Sehat, karena kami ingin agar mereka yang datang mendapatkan layanan kesehatan di Rumah Sehat tersebut menjadi sehat. Sementara kata terpadu dikarenakan di lokasi itu nantinya akan terintregasikan seluruh program-program pendidikan, kesehatan, ekonomi, yang dikelola oleh Dompet Dhuafa. Semuanya kami berikan gratis. Bahkan kami berencana membangun masjid kaca” ujar Herdi, amil Dompet Dhuafa.

”Siapa saja yang boleh mendapatkan layanan kesehatan gratsis itu?” tanyanya lagi.

Kami semua menyangka bahwa ibu tua itu mengharapkan bantuan untuk mendapatkan layanan kesehatan cuma-cuma itu. Ternyata tidak. Ia hanya ingin memastikan lagi bahwa dana zakat yang diserahkan oleh para muzakki ke Dompet Dhuafa itu memberikan dampak yang besar bagi masyarakat.

”Ok Nak Herdi, saya ingin membayarkan zakat saya, di mana lokasi Bank Mandiri terdekat di sini? Bila sudah transfer saya akan kabari Nak Herdi.”.

Herdi terhenyak kaget, dan semakin kaget lagi begitu ia ingin segera membayarkan zakat tanpa menunda waktu.

”Bank Mandiri tak jauh dari sini Ibu. Saya bisa antarkan.”

”Tak usah, nanti saja bila sudah saya tranfer saya akan kembali untuk dapatkan bukti setor zakatnya. Tolong berikan no rekening Dompet Dhuafa di Bank Mandiri.”

Herdi pun sibuk mencari no rekening Dompet Dhuafa di Bank Mandiri. Padahal nomor itu ada di brosur DD, tapi seolah tak ada. Jadi sulit untuk dicari. Sampai menjumpai no rekening nya. ”Ahh ini nomor nya Bu..!”

”Saya minta izin dahulu nanti saya kembali lagi bila sudah mentransfer”.

Belum lagi 5 menit handphone Herdi pun, berdering. ”Bisa di cek ke rekening Dompet Dhuafa, saya baru saja mentransfer Rp 150 juta,” suara dibalik telepon itu terdengar agak samar.

”Mohon maaf Ibu, berapa yang Ibu transfer nanti akan kami cek segera ke Bank Mandiri.”

”Rp 150 juta, Mas,” ujar ibu itu.

Masya Allah sebanyak itu, Alhamdulillah ya Allah, semoga Allah memberikan kemuliaan pada Ibu itu.

”Sebentar itu kami akan cek, Mbak Endang tolong di cek di Bank Mandiri, apakah sudah masuk transfer sebesar Rp 150 juta untuk Rumah Sehat Terpadu.”

”Sudah Mas,” sahut Endang dari balik ruangan.

”Alhamdulillah Ibu, sudah masuk ke rekening kami.”

Hmm Luar biasa, lihatlah katanya-katanya, ”Saya bayarkan zakat ini untuk suami saya yang telah wafat. Saya berharap zakat yang saya tunaikan ini, memudahkan jalan bagi ia menuju surga, seperti yang selama ini diharapkannya.”

”Amin Ibu, kami berdoa semoga almarhum mendapatkan tempat yang mulia dan tinggi atas zakat yang Ibu tunaikan hari ini. Semoga Allah memberikan pahala atas harta yang telah diberikan dan menjadikan suci serta keberkahan atas harta Ibu yang tersisa.”

”Amin”

Pembaca detikRamadan yang mulia, kisah ini membuat saya harus sering berdoa semoga saya bisa seikhlas mereka dalam sedekah dan belajar juga untuk menjauhkan diri dari prasangka. Sambil terus mendoakan para muzakki agar doa dan harapannya segera terwujud.

*) Yuli Pujihardi adalah Corporate Secretary & Resources Mobilization Director Dompet Dhuafa (nwk/nwk)

Harun dan Nasihat Ulama

Republika
Oleh Nurita

Pada suatu ketika, Khalifah Harun Alrasyid ditimpa kegelisahan. Sang khalifah pun minta diantar oleh Fadhal bin Rabi’ mendatangi rumah ulama, untuk meminta siraman rohani. Fadhal mengantar khalifah ke rumah Fudhail bin Ayyadh yang terkenal zahid. Belum lagi Harun mengutarakan maksud kedatangannya, Fudhail telah berkata,
”Sadarkah Anda, hai Amirul Mukminin, bagaimana orang memuji, mengangkat, dan meninggikan Anda? Tetapi bila kelak di hadapan Allah Anda ditanyai tentang sesuatu yang berkaitan dengan kehidupan, hanya Anda yang menanggung jawabnya. Orang yang paling cinta kepada Anda di dunia ini adalah orang yang lebih dahulu lari dan tak bisa membela Anda.”

”Ingatlah wahai, Amirul Mukminin!” lanjut Fudhail, ”Suatu kejadian yang belum lama terjadi, ketika Amirul Mukminin Umar bin Abdul Aziz diangkat jadi khalifah. Dia memanggil Salim bin Abdullah, Muhammad bin Ka’ab, dan Raja bin Haiwah. Ia berkata pada mereka, ‘Sekarang saya telah ditimpa musibah, yaitu memangku jabatan sebagai khalifah. Itulah sebabnya kalian saya panggil, saya hendak minta saran dan nasihat kalian’.”

”Ketika itu, wahai Amirul Mukminin,” sambung Fudhail, ”Salim bin Abdullah memberi saran pada Umar, ‘Jika Anda hendak lepas dari azab Allah, berpuasalah di dunia, dan berbukalah ketika Anda mati’.”
”Muhammad bin Ka’ab menasihatkan, ‘Jika Anda hendak lepas dari azab Allah Ta’ala, pandanglah kaum Muslimin yang lebih tua dari Anda sebagai ayah, pada yang sama umurnya dengan Anda sebagai saudara, dan pada yang lebih muda sebagai anak. Hormatilah ayahmu, sayangilah saudaramu, dan kasihilah anak-anakmu’.”

”Sedangkan Raja bin Haiwah memberi saran, ‘Jika Anda hendak lepas dari azab Allah Ta’ala, kasihilah kaum Muslimin sebagai Anda mengasihi dirimu sendiri. Jauhilah segala macam perkara yang dibenci rakyatmu. Bila semua itu telah Anda jalankan, matilah bila Anda suka. Saya sampaikan nasihat ini, sedangkan hati saya sendiri sangat takut mikirkan bagaimana besarnya perkara yang Anda hadapi’.”

Mendengar nasihat ini, Harun menangis tersedu-sedu, tubuhnya lemas lunglai, bahkan ia hampir pingsan. Melihat keadaan ini, Fadhal berkata, ”Hai Fudhail, kasihanilah Amirul Mukminin, jangan terlalu banyak memberi nasihat yang mendukakan hatinya.”

”Oh tidak, tidak Fadhal,” sela khalifah. ”Justru nasihat seperti ini yang dapat menghapus kegelisahan hatiku.”

Dunia kemudian menyaksikan Harun termasuk khalifah terbaik dalam sejarah Islam.

Pembelahan Dada Nabi

Republika
Oleh : Abdul Muid

Matahari belum lagi meninggi saat seorang bocah Bani Sa`ad berlari terengah-engah melaporkan kejadian aneh bahwa dua laki-laki berpakaian putih telah menangkap suadara angkat mereka, Muhammad. Mereka membedah perut serta dada dan membalik-balikkannya. Usia Muhammad saat itu belum tiga tahun. Halimah, pengasuh Muhammad, pun bergegas menengok kejadian sebenarnya. Didapatinya Muhammad sedang terbaring lemah.

”Aku didatangi dua laki-laki berpakaian putih. Aku dibaringkan, lalu perutku dibedah. Mereka mencari sesuatu di dalamnya. Aku tak tahu apa yang mereka cari,” jelas Muhammad kecil lirih dengan wajah pucat pasi.

Para ahli, baik dari kalangan Muslim maupun non-Muslim, berbeda pendapat tentang kejadian ini. Di antara mereka ada yang menganggap peristiwa ini sangat lemah riwayatnya ditilik dari sudut sanad. Di samping itu sangat tidak masuk akal dan untuk apa Allah membelah perut atau dada Muhammad, padahal ia telah dipersiapkan sejak dulu untuk menjadi Rasul? Alquran pun tidak menyinggung dengan jelas peristiwa itu, kecuali tiga ayat pertama Surah Al-Insyirah: ”Bukankah telah Kami lapangkan dadamu? Dan sudah Kami lepaskan beban darimu? Yang memberati punggungmu?”

Ayat ini, meski diduga punya kaitan dengan peristiwa itu, tetap tidak menegaskan kejadian sebenarnya.

Terlepas dari pro dan kontra itu, Karen Armstrong dalam bukunya, Muhammad Sang Nabi (2001), menyatakan bahwa kisah ini menyimbolkan kemurnian yang diperlukan untuk menerima suatu pengalaman ketuhanan tanpa menodai pesan sucinya. Kisah ini sering disejajarkan oleh para sejarawan dengan peristiwa Isra dan Mi’raj.

Di sisi lain, kita melihat bahwa di hadapan Muhammad kecil terbentang hamparan tanggung jawab tak bertepi terhadap umat saat ia menjadi Nabi dan Rasul –tanggung jawab yang tidak akan sanggup dipikul oleh sembarang orang. Pembawa risalah ini haruslah orang yang betul-betul terjaga kesuciannya dan kuat jiwanya. Untuk itu, hatinya mestilah bersih dari segala kecenderungan-kecenderungan rendah yang dapat berakibat misi yang diembannya berantakan.

Saat ini kita sulit mencari seseorang yang memiliki jiwa bersih untuk memimpin negeri yang tengah porak-poranda ini. Penyelewengan kekuasaan dan jabatan masih menjadi benda murah dan bisa ditemui di manapun. Himah dari kisah dibelahnya dada Muhammad ini mungkin bisa menjadi cermin bahwa sejak usia dini, calon-calon pemimpin masa depan mesti dibekali kesucian jiwa dan kekuatan mental kalau mereka tak mau gagal.

Meremehkan Hal Kecil

Republika
Oleh : Oleh Sabrur R Soenardi

Ketika hendak menjenguk orang sakit, Khalifah Umar bin Khatab menyewa seekor kuda tunggangan. Di tengah perjalanan, ia beristirahat sejenak dan menggantungkan syal ikat kepalanya pada ranting sebuah pohon. Karena terus berzikir, Umar lupa mengambil syal itu saat beranjak pergi. Ketika perjalanan sudah agak jauh, seseorang memberi isyarat bahwa Umar meninggalkan syalnya pada sebuah pohon.

Umar pun turun dan meninggalkan kudanya bersama orang itu. “Jaga kuda itu. Aku akan kembali ke pohon itu mengambil syal.”

Laki-laki itu tentu saja heran. Maka, sekembali Umar dari mengambil syalnya, ia langsung bertanya, “Wahai Amirul Mukminin, mengapa Anda pergi ke pohon itu tidak naik kuda ini saja atau menyuruhku mengambil syal itu untukmu?”

“Kamu yang pergi?” jawab Umar balik bertanya. “Aku tidak mau. Syal itu bukan punyamu, dan kamu juga bukan orang upahanku yang bisa kumanfaatkan seenakku. Usulmu agar aku menunggangi kuda ini untuk mengambil syal lalu kembali lagi, aku tidak sepakat. Waktu aku menyewa kuda ini, izinnya hanya untuk pergi dari rumah ke tempat yang kutuju. Lagi pula, aku dan pemilik kuda ini tidak membuat kesepakatan yang membolehkan kamu pergi dengan kuda ini.”

Laki-laki itu tambah heran. “Wahai Amirul Mukminin, itu kan sangat remeh bagi kuda ini dan bagi pemiliknya? Berjalan sedekat itu bagi seekor kuda bukanlah sesuatu yang berat, dan jika diukur dengan uang sewaaan, bagi pemilik kuda, juga tidak bernilai banyak.”

Alfaruq sangat berang mendengar ucapan orang ini. “Hai orang yang sesat dan disesatkan, tidakkah kamu mendengar firman Allah, ‘Dan kamu menganggapnya yang ringan saja, padahal di sisi Allah adalah besar’.” (QS Annur: 150).

Alih-alih berperilaku seperti Umar yang, sebagai kepala negara sekalipun, tidak mau meremehkan hal-hal kecil, orang zaman sekarang, khususnya mereka yang duduk di kursi kekuasan, malah berperilaku menyimpang, jauh dari yang dicontohkan. Hal-hal yang besar justru mereka anggap remeh. Pemberantasan KKN, law enforcement, pengentasan kemiskinan, semuanya adalah tugas-tugas besar menyangkut masa depan bangsa.

Namun, mereka tidak serius menanganinya. Para penyelenggara negara kita justru menganggap semua hal itu sebagai tugas-tugas remeh. Karena itu, hingga kini tugas-tugas itu tidak tergarap dengan tuntas, bahkan cenderung amburadul. Betapa berat pertanggungjawaban mereka di akhirat kelak. Na’udzubillah. 

Paku dan Lidah

Republika
Oleh : Siti Nuryati

Ada seorang anak laki-laki pemarah. Untuk mengurangi kebiasaan marah sang anak, ayahnya memberikan sekantong paku dan mengatakan pada anak itu untuk memakukan sebuah paku di pagar belakang setiap kali dia marah.

Hari pertama anak itu telah memakukan 72 paku. Lalu secara bertahap jumlah itu mulai berkurang. Dia mendapati bahwa ternyata lebih mudah menahan marah daripada memakukan paku ke pagar. Akhirnya tibalah waktu dimana anak tersebut merasa bahwa ia sama sekali telah mampu mengendalikan amarahnya dan tidak cepat kehilangan kesabarannya.

Anak itu kemudian memberitahukan perubahan dirinya kepada sang ayah, yang kemudian mengusulkan agar ia mencabut satu per satu paku-paku tersebut setiap hari pada saat si anak telah hilang sifat pemarahnya.

Hari-hari berlalu dan anak laki-laki tersebut akhirnya memberitahu ayahnya bahwa semua paku telah tercabut olehnya. Menyaksikan semua itu, sang ayah lalu menuntun anaknya ke pagar sambil berkata, ”Engkau telah berhasil dengan baik anakku. Namun, lihatlah lubang-lubang di pagar ini. Pagar ini tidak akan pernah bisa kembali mulus seperti sebelumnya, ketika engkau mengatakan sesuatu dalam kemarahan.”

Si ayah melanjutkan, ”Kata-katamu akan meninggalkan bekas di hati orang yang kaumarahi, seperti lubang bekas paku yang ada di pagar ini. Engkau dapat menusukkan pisau pada seseorang, lalu mencabut pisau itu. Meski telah beberapa kali engkau meminta maaf, bisa jadi luka itu akan tetap ada dan luka karena kata-kata adalah sama buruknya dengan luka fisik akibat tusukan pisau, meski luka akibat kata-kata memang tak tampak.”

Rasulullah saw pernah bertutur, ”Barang siapa yang tidak bisa berkata baik, maka diamlah.” Di sinilah kita dibimbing untuk senantiasa mengedepankan akhlak dalam setiap pembicaraan agar apa pun yang kita katakan tidak melukai orang lain.

Dalam berbicara kita dituntut dua hal: benar dan baik. Benar artinya bahwa substansi pembicaraan kita selalu dalam koridor syari’at. Sedangkan baik di sini berarti cara bicara kita diupayakan tidak menimbulkan luka hati lawan bicara kita.

Kisah Dua Muadz

Oleh : Nur Hasan Atho

Dalam hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim, dikisahkan bahwasannya Abdurrahman bin Auf pernah berkata bahwa pada hari Perang Badar, dia berdiri di tengah-tengah barisan. Saat itu dia melihat ke kiri dan kanan, dan tiba-tiba saja ada dua anak kecil dari kaum Anshar di sampingnya. Salah seorang di antara mereka kemudian berkata sambil mengerlingkan mata pada Abdurrahman, “Wahai pamanku, apakah engkau kenal dengan Abu Jahal?”

Abdurrahman menjawab, “Benar, dan apa perlumu dengannya?”
Anak kecil tersebut berkata, “Aku mendengar berita bahwa orang itu telah mencela Rasulullah saw. Demi Dzat yang jiwaku berada di dalam tangan-Nya, sekiranya aku melihatnya, niscaya diriku dan dirinya tidak akan pernah bercerai terkecuali salah seorang di antara kami akan mati.” Abdurrahman terkejut mendengar perkataan tersebut.

Kemudian yang lainnya juga berkata hal yang sama kepadanya sambil mengerlingkan matanya. Tidak lama kemudian ia melihat Abu Jahal berkeliling di antara kelompoknya. Abdurrahman berkata, “Apakah kalian tidak melihat? Itulah orang yang kalian pertanyakan kepadaku.” Mendengar hal itu, lantas keduanya segera menyerang dan menghunjamnya dengan pedang, hingga keduanya berhasil membunuh Abu Jahal.

Kemudian keduanya menghadap kepada Rasulullah saw dan memberitahukan peristiwa yang mereka alami tadi. Nabi bertanya, “Siapa di antara kalian berdua yang telah membunuhnya (Abu Jahal)?”
Masing-masing mereka berkata, “Kami yang telah membunuhnya.”
Nabi tambah bertanya kepada keduanya, “Apakah kalian telah membersihkan pedang kalian?” Keduanya menjawab belum. Kemudian Nabi saw melihat sebuah pedang yang masih berlumuran darah di tangan mereka dan bersabda, “Kalian berdua telah membunuhnya.”

Setelah itu Rasulullah memberikan harta rampasan kepada dua Muadz, masing Mu’adz bin Amr bin Jamuh dan Mu’adz Ibn Afra’ ra
Sungguh, mereka adalah dua Muadz ‘kecil’ yang pemberani. Tekad mereka untuk membela Rasulullah sungguh besar. Memang demikianlah mereka dididik. Ketika itu, anak-anak Islam dididik dan dipersiapkan untuk berjuang di jalan Allah dan membela Rasul-Nya. Semoga, kisah kedua Mu’adz itu menjadi inspirasi yang terus menggelorakan semangat juang kaum muda Muslim di negeri ini dalam membela agama mereka.

Syukur yang Sesungguhnya

Republika
Oleh A Fauziyah

“Ya Allah Jadikanlah aku ini termasuk golongan hamba-Mu yang sedikit.”

Yang dimaksud dengan golongan sedikit adalah hamba-hamba yang bersyukur (Saba’: 13). Bukankah sudah banyak di antara kita telah mengucapkan kata “alhamdulillah” dan bukankah sudah banyak di antara kita yang telah mengadakan acara “tasyakuran” setelah mendapatkan sesuatu yang beharga seperti naik pangkat, lulus ujian, kelahiran anak, dan lain-lain? Hal demikian memang sudah memasuki pintu syukur, akan tetapi belum sepenuhnya memasuki kawasan syukur.

Syukur berarti rasa terima kasih atas nikmat yang telah diberikan, sembari menggunakan nikmat tersebut di jalan yang diridhai Allah SWT. Syukur tersusun dari ilmu, hal, dan amal perbuatan. Ilmu berarti mengetahui nikmat yang diberikan dan pemberi nikmat. Hal berarti gembira atas nikmat yang telah diberikan.

Sedangkan amal perbuatan adalah melaksanakan apa yang menjadi tujuan pemberi nikmat.

Banyak di antara kita bersyukur hanya dalam ilmu dan hal saja, belum memasuki penggunaan nikmat itu untuk mencari keridhaan-Nya. Seseorang bertanya kepada Abu Hazim, “Bagaimanakah syukur mata?” Ia menjawab, “Jika mendengar yang baik diterima, dan sebaliknya.” “Bagaimanakah syukur kedua tangan?” Ia menjawab, “Jika orang meninggal baik dan perlu ditiru, maka langkahkanlah kaki Anda.”

Penggunaan nikmat untuk meningkatkan kualitas ibadah masih sedikit. Orang yang bersyukur hanya pada bibir saja bagaikan mempunyai sehelai selendang panjang dan hanya memegang ujungnya tanpa mengenakannya.

Maqam syukur lebih tinggi daripada maqam takwa karena takwa merupakan ambang kedatangan syukur. “Karena itu bertakwalah kepada Allah, supaya kamu mensyukuri-Nya.” (Ali Imran: 123). Dan syukur yang diikuti dengan keimanan akan terbebas dari azab Allah. “Mengapa Allah akan menyiksamu, jika kamu bersyukur dan beriman?” (Annisaa`: 147).

Sulit melaksanakan syukur yang sesungguhnya sehingga Nabi memberikan doa kepada Muaz bin Jabal untuk selalu dibawa setiap setelah shalat “Allahumma ainni ala dzikrika wa syukrika wa husni ibadatika.” (Ya Allah, jadikanlah aku hamba-Mu yang selalu ingat akan Engkau, bersyukur kepada-Mu, dan membaguskan ibadah kepada-Mu.”

Semoga kita termasuk golongan orang-orang bersyukur. Amin.

Obat Marah

Republika
Oleh Muhajirin

Suatu sore Rasullah saw duduk bersama sahabat-sahabatnya sambil memberikan pelajaran agama. Di antara sahabat yang hadir adalah Utsman bin Affan dan Abu Bakar Siddiq ra.

Di tengah perbincangan mereka, tiba-tiba seorang laki-laki menghadap Abu Bakar dan langsung mencaci-makinya. Mendengar cacian laki-laki itu, Abu Bakar hanya berdiam diri dan tidak mengeluarkan kata-kata sedikit pun.

Karena Abu Bakar tidak marah dan tidak membalas caciannya, maka laki-laki itu pun kembali menghinanya. Abu Bakar pun kembali diam tanpa komentar sedikit pun. Ketika hinaan itu semakin menjadi-jadi, Abu Bakar tak tinggal diam dan berkata, ”Wahai saudaraku, hentikan hinaanmu itu.” Akhirnya laki-laki itu pun menghentikan hinaannya.

Anehnya Rasulullah saw yang berada di tenagh-tengah mereka hanya diam dan tidak ikut campur atas perdebatan yang terjadi antara Abu Bakar dan laki-laki itu. Akhirnya Rasulullah meninggalkan majelisnya. Sepertinya beliau tidak menyukai perdebatan yang terjadi.

Abu Bakar berusaha mengejar Rasulullah. Dia berkata, ”Ya Rasulullah, dia menghinaku dan engkau hanya duduk dan berdiam diri, terus ketika aku mencegahnya, engkau pun beranjak pergi. Apakah engkau marah kepadaku?

Rasulullah menjawab, ”Ketika engkau mencegahnya, dia datang mendekatimu.” Mendengar jawaban itu Abu Bakar sedikit kebingungan dan kembali bertanya, ”Apa maksudnya, ya, Rasulullah?”

Kemudian Rasulullah saw memegang pundak Abu Bakar seraya berkata, ”Dia itu syaitan. Ketika engkau tidak mampu menahan marahmu, dia mendekat untuk berdiam bersamamu, dan aku tidak akan duduk bersama syaitan. Ingat! tidak ada seorang hamba yang dizalimi, kecuali hanya diam dan sabar kepada Allah SWT. Maksudnya jika engkau dihina oleh seseorang, maka diamlah dan memohonlah ampun kepada-Nya.”

Begitulah cara Rasulullah mengajarkan menahan marah kepada para sahabatnya. Dalam salah satu hadits disebutkan, ”Sesungguhnya kemarahan itu dari syaitan dan syaitan diciptakan dari api, dan api dapat dipadamkan dengan air. Maka apabila salah seorang di antara kamu marah (ingin marah) maka segeralah berwudhu.” 

Lelaki Berhati Teduh

Republika
Oleh Irwan Kelana

Ketika salah seorang putranya yang masih menyusu meninggal dunia, hati Siti Khadijah amat pilu. Kepedihan seorang ibu yang amat menyayangi buah hatinya. Namun, Rasulullah segera menghibur istri tercinta, ”Di surga ada yang akan menyusuinya.” Khadijah berkata, ”Kalau aku tahu begitu, tentu hatiku ini tidak akan terlalu susah dan resah.” Maka sambung Rasulullah lagi, ”Kalau engkau mau, aku akan perdengarkan suaranya di surga.” Cepat-cepat sang istri menjawab, ”Tidak, tidak perlu. Aku percaya kepada Allah dan Rasul-Nya.”

Begitulah cara Rasulullah menenangkan dan membesarkan hati istrinya yang tengah berduka. Ketika Khadijah sakit hingga meninggal dunia, Rasulullah tidak pernah meninggalkannya. Khadijah menghembuskan napas terakhirnya di hadapan orang yang paling dikasihinya.

Keteduhan hati Rasulullah juga terpancar terhadap istri-istrinya yang lain, yang beliau nikahi tiga tahun setelah Khadijah wafat. Salah satu istri beliau, Siti Aisyah –satu-satunya wanita yang dinikahi Rasulullah saat masih gadis– banyak menceritakan kelembutan dan romantisme Rasulullah. ”Rasulullah saw pernah mengajakku lomba lari. Aku berhasil mengalahkannya. Kemudian setelah badanku agak gemuk, beliau mengajakku bertanding lari lagi. Kali ini beliau yang menang, lalu sabdanya, ‘Ya, Aisyah, kedudukan kita sama, satu-satu dengan yang dulu’.”

Wanita yang sering dipanggil oleh Rasulullah dengan ungkapan sayang, ”Ya Humaira” (wahai wanita berkulit putih kemerah-merahan) dan ”Ya Aisy” itu bercerita pula, ”Rasulullah saw pernah berkata kepadaku, ‘Aku tahu kapan kau senang dan kapan kau marah padaku.’ Aku bertanya, Dari mana engkau mengetahuinya? Beliau menjawab, ‘Kalau engkau sedang senang padaku, engkau akan berkata dalam sumpahmu, La wa Rabbi Muhammad (tidak demi Rabb (Tuhan)-nya Muhammad). Tapi, jika kau sedang marah kepadaku, engkau akan bersumpah, La wa Rabbi Ibrahim (tidak demi Rabbnya Ibrahim)’. Dengan jujur aku menjawab, Demi Allah, memang demikian, ya, Rasulullah! Aku tidak meninggalkan kecuali namamu saja.”

Sebagai manusia biasa, mungkin tidak mudah bagi kita mengikuti kesalehan ritual nabi. Sebagai seorang manusia pilihan, rasulullah tidak ada tandingannya dalam beribadah dan berdakwah. Tapi, bersikap lemah lembut dan penuh kasih sayang kepada istri, rasanya siapa pun bisa melakukannya, bukan? Wallahu a’lam.

Umar dan Perempuan Tua

Republika

Oleh: Muhammad Noupal

Alkisah, Raja Abdullah, putra almarhum Raja Husein dari Yordania, mempunyai hobi yang aneh sebagai seorang raja. Ia mempunyai hobi menyamar, misalnya menjadi pasien di rumah sakit, menjadi buruh, menjadi karyawan, menjadi sopir taksi, dan sebagainya.

Konon suatu hari, ia berpura-pura menjadi pasien di rumah sakit umum Zanga, di pusat kota Amman, karena ia mendengar bahwa pelayanan rumah sakit yang disediakan untuk masyarakat menengah ke bawah itu tidak berjalan sebagaimana mestinya. Daripada hanya mendengar laporan dari stafnya, Raja Abdullah mencoba membuktikan sendiri dengan menjadi pasien di rumah sakit tersebut. Selama dua jam ia menjadi pasien dan menyaksikan sendiri pasien-pasien yang antre menunggu pelayanan, sementara tak ada seorang dokter pun menampakkan diri.

Cerita ini juga mengingatkan kita akan kejadian yang pernah menimpa Umar bin Khathab, khalifah kedua setelah Abubakar Siddiq. Ketika dalam suatu perjalanan, Umar mendengar seorang perempuan tua sedang memaki-maki. “Celakalah Umar! Celakalah Umar!” demikian katanya. Karena ingin tahu, Umar lalu mendekati perempuan tua itu dan berkata, “Mengapa engkau berkata demikian?”

Wanita itu berkata, “Ya. Umar telah bertindak zalim karena tidak pernah memperhatikan rakyat yang tua seperti saya ini. Celakalah Umar”.
Apa yang terjadi dengan Umar? Ia menangis dan kembali cepat ke rumahnya lalu membawa satu karung makanan yang ia bawa sendiri untuk diberikan kepada perempuan tua itu. Seorang prajurit yang melihat Umar membawa makanan itu lalu berkata, “Wahai Khalifah, biarkan saya yang membawanya.”

Umar menjawab, “Bagaimana mungkin aku akan tenang selama perempuan tua itu selalu berada dalam keadaan lapar? Celakalah Umar jika Ia tidak mau membawa makanan ini kepada perempuan itu.”
Sesampainya di tempat kediaman perempuan itu, Umar lalu memberikan makanan kepada perempuan tua itu dan berkata, “Ini makanan yang telah diberikan Umar. Maukah engkau memaafkan Umar, wahai perempuan tua?” Dengan heran, perempuan itu bertanya, “Siapakah Anda”.

Seorang prajurit yang berada di dekatnya menjawab, “Dialah Amirul Mukminin, Umar bin Khathab.”

Jika hal seperti ini dapat dilakukan oleh pejabat pemerintah, maka mungkin hati mereka akan terketuk dan menjadi insaf, bahwa keberadaan mereka adalah untuk kepentingan rakyat, mengurusi dan membantu mereka.